Senin, 02 Maret 2009

PEMILU MUBADZIR

Oleh : Muhammad Thalib
Mengamalkan Syariat Islam adalah hak dan kewajiban setiap Muslim. Karenanya tidak ada ruang dan waktu yang dapat membatasi seseorang untuk memperjuangka tegaknya Islam. Semangat orang Islam untuk memprjuangkan agamanya,memang tidak pernah berehenti, dari dahulu, kini, dan nanti. Bahkan akhir-akhir ini terlihat jelas kian bervariasinya pola perjuangan yang ditawarkan, dan kian beraneka ragamnya tampilan yang disodorkan.
Satu diantara polayang ditempuh adalah dengan berlomba-lomba mendirikan partai politik. Melalui kendaraan-kendaraan politik inilah, aneka propaganda barang dagangan mulai dijajakan kepada umat Islam. Tujuannya, tentu hendak menjadikan umat Islam sebagai tuan di negerinya sendiri, penguasa di negerinya sendiri, dan bahkan apapun bidang di negerinya harus ditangan orang-orang Islam yang konsen dengan agamanya.
Pola perjuangan seperti ini, dengan lantang mereka gumamkan sebagai perjuangan agama lewat jalur politik, dan mereka malah bila dikatakan meraih kepentingan politik memperalat agama. Karena yang kedua ini mengesankan tindakan menjual agama untuk kepentingan politik, sedangkan yang pertama memberikan bobot ‘jihad’ bagi yang bersangkutan dalam mengekspresikan keyakinan agamanya. Kedua pola ini sulit dibedakan dalam praktek, sehingga riskan dan sangat mudah disusupi kaum munafik.
Fenomena bertebaranya kaum munafik yang menjual agama demi ambisi politik, bukanlah hal baru. Karena pola semacam ini sudah menjadi cirri kaum Yahudi dan Nashrani sepanjang zaman. Mereka selalu mempropagandakan diri untuk mengisi aktivitas politik dengan agama walaupun yang mereka lakukan justru menjaul agama untuk kepentingan politik. Firman Allah swt, :
“apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bahagian dari Al-Kitab (Taurat) ? mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar) dengan memutar balikan kebenaran itu”. (QS : An-Nisa’ ayat : 44).
Karakteristik para pendeta Nashrani dan pastur Yahudi pada zaman permulaan Islam itu, rupanya di adopsi oleh aktivis partai Islam di Indonesia kini. Mereka selalu mengedepankan argumentasi-argumentasi keagamaan untuk membujuk masyarakat mengikuti pola pikir mereka yang sudah menyimpang dari Syari’at Allah. Mereka menggunakan alasan membangun kemaslahatan dan menjaga suasana aman-damai, walaupun didalamnya merajalela kemaksiatan dan kemungkaran. Oleh karena itu mereka mencoba membangun ideology baru atas nama agama yang secara sangat mudah dapat dijadikan slogan yang merakyat.
Misalnya, kemaslahatan umum harus didahulukan daripada melakukan pencegahan atas kemungkaran. Atau, bilamana jumlah korban yang dimunculkan sebagai akibat pemberantasan kemungkaran sangat besar dan menganacam instabilitas masyarakat, maka pencegahan terhadap kemungkaran tidak perlu disuarakan apalagi dilakukan.
Cara berpikir seperti ini merupakan cirri pendeta dan pastur Yahudi dan Nashrani. Untuk itu kaum pendeta Yahudi dan Nashrani tidak merasa berdosa untuk melakukan perubahan-perubahan tertentu, bahkan memalsukan ayat-ayat Taurat dan Injil, sehingga yang asli menjadi hilang. Perilaku mereka ini Allah sebutkan dalam surat An Nisa’ : 46
“di antara orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata,”Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya”. Dan (mereka mengatakan pula) : “dengarlah, tapi semoga kamu tidak dapat mendengar”. Dan (mereka mengatakan) : “Raa’ina (sudilah kiranya kamu memperhatikan kami), dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama.”
Belakangan kita mendengar mantan Presiden PKS (dulu PK), Hidayat Nur Wahid menyatakan, orang yang tidak ikut pemilu berarti melakukan tindakan mubadzir, dan mubadzir adalah perbuatan syetan. Pernyataan ini merupakan modernisasi perilaku kuno pendeta dan pastur yang diadopsi oleh PKS.
Pertanyaanya, sejak kapan Islam mewajibkan pemilu, sehingga bila tidak ikut pemilu dianggap melakukan perbuatan mubadzir ? atas dasar apa menggunakan terminology Qur’an, mubadzir dalam pengertian membuang suara karena tidak ikut pemilu?
Sebagai alumni perguruan tinggi Islam Madinah, Hidayat Nur Wahid sudah tentu mengetahui bahwa ayat tabdzir yang dipakainya itu berkaitan dengan ketaatan untuk tidak menggunakan harta halal untuk berbuat haram. Karena itu Ibnu Abbas menjelaskan pengertian mubadzir pada ayat ini adalah dengan mengatakan, mempergunakan uang sekalipun satu dirham untuk hal-hal yang haram, termasuk perbuatan mubadzir. Jadi, bukan menggunakan harta untuk melakukan hal-hal yang halal.
Dalam kaitan ini, yang harus dijelaskan Nur Wahid,hokum asal pemilu itu Wajib atau haram? Sebab tidak ada dalam istilah agama, bahwa meninggalkan sesuatu yang wajib dikatakan mubadzir, tetapi justru dosa. Sebaliknya melanggar, sesuatu yang haram sudah pasti melakukan perbuatan mubadzir. Oleh Karen itu membawa-bawa fatwa agama demi kepentingan Partai adalah mewarisi karakter Yahudi dan Nashrani. Dengan demikian, PKS tidak lagi berhak dikategorikan sebagai perjuangan agama melalui politik, tetapi memperalat agama untuk kepentingan politik.
Pasca penobatan sebagai ketua MPR Nurwahid menyatakan tidak akan memperjuangkan syari’at Islam menjadi hokum negara. Tetapi menjelang pemilu 2009, dia merengek minta fatwa Syari’at Islam. Mengapa nurwahid bersikap Hipokrit?
Apa yang dilakukan oleh PKS ini, juga sudah lama dilakukan oleh partai yang menggunakan Islam sebagai labelnya. Dengan demikian, seharusnya para aktivis Instrospeksi diri, apakah mereka ini menjadi bagian dari hamba Allah yang shalih ataukah merupakan kelompok yang berpura-pura shalih untuki membawa hamba Allah yang shalih ke jalan yang salah?

Sumber : Risalah Mujahidin